2017

Home » Blog » 2017 » Tantangan Bagi Perguruan Tinggi di Indonesia Untuk Meningkatkan Nilai EC (Effectiveness of Competence) dari Lulusan Baru

21-01-17

Tantangan Bagi Perguruan Tinggi di Indonesia Untuk Meningkatkan Nilai EC (Effectiveness of Competence) dari Lulusan Baru



  • Bahasa Indonesia
  • English

Oleh: Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt
American Society for Quality (www.asq.org) CMQ/OE, CQA, CSSBB, CQE, CQIA
American Production and Inventory Control Society (www.apics.org) CFPIM, CSCP
International Quality Federation (www.iqf.org) Six Sigma Master Black Belt
Registration Accreditation Board (www.exemplarglobal.org) Quality Management System Practitioner

 

Without questions there is no learning. BUT You should not ask questions without KNOWLEDGE

Dr. William Edwards Deming; October 14, 1900 – December 20, 1993

 

Dalam banyak tulisan, saya TELAH menyinggung bahwa SUCCESS Karier di dunia bisnis dan industri sangat tergantung pada EC (Effectiveness of Competence) yang merupakan intersection atau perkalian atau integrasi antara Attitude (A), Knowledge (K), dan Skills (S).

Catatan: EC = A x K x S. (Lihat Bagan 1 terlampir di atas).

 

Dalam banyak kasus lulusan perguruan tinggi di Indonesia memiliki nilai EC sangat rendah (antara 0 – 1) dengan kecenderungan menuju NOL. TIDAK ada korelasi yang kuat antara nilai Indeks Prestasi (IP) dan nilai Efektivitas Kompetensi (EC). Meskipun kita mengasumsikan seorang lulusan baru dari perguruan tinggi di Indonesia, karena kemauan, pembelajaran mandiri, dan kebijakan link and match dari perguruan tinggi TELAH mampu meningkatkan nilai Attitude (A) dan Knowledge (K) mencapai 100%, NAMUN keterampilan (Skills) yang belum diterapkan itu tetap masih bernilai nol (S = 0), maka nilai EC = A x K x S = 100% x 100% x 0% = 0.

Bagan 2 terlampir memberikan beberapa ilustrasi berikut:

  1. Jika seseorang HANYA memiliki Attitude (A), katakanlah sempurna 100%, TETAPI ia TIDAK memiliki Knowledge (K) dan Skills (S), maka nilai EC = A x K x S = 100% x 0% x 0% = 0. Dalam kasus ini orang itu HANYA memotivasi diri sendiri saja untuk mengangkat “batu besar” TANPA ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga hampir PASTI ia akan GAGAL mengangkat batu besar dalam Bagan 2 itu.

    Catatan: Tulisan ini tidak membahas tentang mereka yang memiliki Bad Attitude (nilai NEGATIF) tetapi menginginkan SUCCESS, sebagai misal orang itu TIDAK MAU melakukan sesuatu setelah melihat “batu besar” dalam Bagan 2 terlampir itu.

  2. Jika seseorang yang TELAH memiliki Attitude (A) yang baik itu, mengetahui bahwa batu besar yang HARUS diangkat itu TIDAK MUNGKIN dilakukan sendiri, kemudian ia meminta bantuan orang lain sampai katakanlah 10 orang, maka ada kemungkinan batu besar itu terangkat TETAPI tindakan itu membutuhkan energi, waktu, dan mungkin uang sehingga dianggap TIDAK EFEKTIF dan TIDAK EFISIEN.

    Catatan: dalam dunia nyata (praktek bisnis dan industri) yang mengandalkan pada Attitude (A) saja, cenderung akan merekrut tenaga-tenaga kerja baru untuk membantu mengangkat batu besar (beban tugas dan tanggung jawab) sehingga jumlah karyawan akan semakin banyak TANPA meningkatkan nilai Efektivitas Kompetensi (EC) dari karyawan-karyawan itu.

  3. Jika seseorang yang TELAH memiliki Attitude (A) yang baik itu juga TELAH memiliki ilmu pengetahuan (Knowledge) bahwa untuk mengangkat batu besar dapat menggunakan peralatan semacam katrol TETAPI belum berpengalaman (Skills) menggunakan katrol itu, maka nilai EC juga masih dianggap nol, Karena: EC = A x K x S = 100% x 100% x 0% = 0. Dalam hal ini ia MASIH GAGAL mengangkat batu besar itu yang dalam dunia nyata diibaratkan sebagai GAGAL mengemban beban tugas dan tanggung jawab yang besar.
  4. Seseorang baru dapat dianggap MAMPU bekerja secara Efektif dan Efisien, jika nilai EC minimum sama dengan satu (EC = 1), yaitu: (a) ia memiliki Attitude (A) yang baik, yaitu: ia MAU mengangkat batu besar, (b) ia memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi (K), dalam contoh ini ia memiliki pengetahuan tentang peralatan katrol agar memudahkan mengangkat beban yang berat, dan (c) ia memiliki keterampilan/Skills (S) menggunakan peralatan katrol itu agar mampu mengangkat batu besar seperti dalam Bagan 2 terlampir itu.
  5. Mereka yang berada pada tahap 4 (ilustrasi nomor 4) ini tentu saja akan terus-menerus meningkatkan nilai EC agar lebih besar daripada satu, sehingga mencapai SUCCESS karier dan SUCCESS lainnya dalam kehidupan nyata yang saya menyebut sebagai SUCCESS dalam Universitas Kehidupan sampai menunggu waktu diwisuda dengan gelar paripurna dan tertinggi dari Universitas Kehidupan, yaitu: Alm (Almarhum).

Pada saat sekarang ini kita mengetahui bahwa lulusan baru dari perguruan tinggi baik di Indonesia maupun luar negeri, sangat jarang (hampir mendekati NOL persen) yang berada dalam ilustrasi nomor 4 di atas, apalagi nomor 5!

Lulusan baru dari perguruan tinggi (apakah D3, S1, S2, maupun S3?) yang memiliki EC yang sangat rendah (antara nol sampai 1) ini mengharapkan bahwa sistem yang ada di dunia bisnis dan industri yang HARUS meningkatkan EC (Efektivitas Kompetensi) dari lulusan baru itu, melalui meningkatkan nilai-nilai Attitude (A), Knowledge (K), dan S (Skills). Pemahaman seperti ini dianggap keliru, karena pertimbangan berikut.

MASIH banyak permasalahan yang terjadi dalam dunia bisnis dan industri di Indonesia, yaitu: banyak perusahaan bisnis dan industri BELUM memiliki sistem pendidikan dan pelatihan industri yang professional. Beberapa perusahaan bisnis dan industri di Indonesia yang memiliki sistem pendidikan dan pelatihan industri yang professional biasanya adalah perusahaan-perusahaan besar yang memiliki jaringan internasional, misalnya: PT. Astra Group of Companies mengadopsi sistem pendidikan dan pelatihan dari Toyota Motor di Jepang), PT. Pertamina, PT. Telkom, dll. Dan agar diketahui sangat sedikit lulusan baru dari perguruan tinggi yang berhasil dalam mengikuti proses seleksi dari perusahaan-perusahaan besar ini.

CATATAN: ketika VG lulus program Doktor Teknik Sistem dan Industri dari ITB (IP = 4,0), ia GAGAL menjadi karyawan di PT. Pertamina di tahun 1991 (tidak diterima dalam proses seleksi). TETAPI dalam proses beberapa tahun kemudian, VG diundang menjadi Konsultan untuk Membangun Sistem Manajemen Kinerja berbasis Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE) di PT. Pertamina dan menjadi instruktur tamu di Pertamina Learning Center (PLC)!

 

Saya sering kali merasa PRIHATIN ketika mengetahui bahwa seseorang lulusan baru dari perguruan tinggi, ketika memasuki dunia bisnis dan industri yang BELUM memiliki sistem pendidikan dan pelatihan industri, menjadi TIDAK TAHU harus berbuat apa-apa karena manajemen perusahaan juga masih sibuk dengan cara-cara tradisional untuk mengangkat batu besar mengandalkan tenaga manusia saja (mengandalkan Attitude saja).

Bisa dihitung berapa kerugian (opportunity loss) dari bangsa dan negara Indonesia sebagai akibat ke-TIDAK EFEKTIF-an dan ke-TIDAK EFISIEN-an dari sistem pendidikan dan pelatihan sejak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai Universitas kemudian berlanjut sampai bertahun-tahun bahkan mencapai puluhan tahun seseorang menjadi TIDAK MAMPU meningkatkan nilai Efektivitas Kompetensi (EC) di dunia bisnis dan industri Indonesia. Berdasarkan FAKTA ini, maka pengelola perguruan tinggi di Indonesia seyogianya HARUS menyadari dan memahami hal-hal di atas, sehingga TANGGUNG JAWAB bukan sekedar mewisudakan ribuan lulusan baru dengan kata-kata motivasi saja (mengandalkan Attitude saja), TANPA membekali lulusannya dengan Knowledge (K) dan Skills (S) yang cukup. Agar dicatat bahwa SUCCESS dalam dunia nyata (Universitas Kehidupan) bergantung pada seberapa besar nilai Efektivitas Kompetensi (EC) yang merupakan intersection atau perkalian atau integrasi antara Attitude (A), Knowledge (K), dan Skills (S).

Berdasarkan pengalaman saya pribadi yang TELAH memasuki dunia praktek bisnis dan industri mulai dari Management Trainee (MT) sejak 1991 ketika lulus dari program Doktor Teknik Sistem dan Industri ITB (IP = 4,0), telah mengikuti berbagai kursus manajemen professional termasuk memperoleh kompetensi profesional, pengalaman implementasi sistem-sistem manajemen lebih dari 25 tahun, dll, sehingga TELAH memiliki nilai Efektivitas Kompetensi (EC) di atas satu (mungkin 200%, 300% sampai tak terbatas, karena saya juga masih terus-menerus belajar menggunakan PDCA Management Framework), merasa yakin bahwa Indonesia MAMPU membangun MODEL Sistem Pendidikan dan Pelatihan sejak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai Universitas agar menghasilkan lulusan baru perguruan tinggi yang memiliki nilai EC (Efektivitas Kompetensi) di atas satu, minimum sama dengan satu. Ide saya adalah membangun laboratorium PRAKTEK Bisnis dan Industri yang professional di dunia perguruan tinggi, mengikuti model pendidikan di fakultas-fakultas kedokteran di seluruh dunia (termasuk Indonesia), sehingga menghasilkan Entrepreneurs dan/atau Intrapreneurs yang bekerja pada perusahaan-perusahaan bisnis dan industri (yang didirikan oleh Entrepreneurs) seperti ditunjukkan dalam Bagan 3 terlampir.

 

Sekolah dan Perguruan Tinggi yang MASIH menerapkan model pembelajaran abad ke-20 dan TIDAK MAU mengadopsi model pembelajaran abad ke-21 HANYA akan menghasilkan lulusan yang TIDAK BERKOMPETEN (EC = 0) di pasar tenaga kerja, yang pada akhirnya sekolah dan perguruan tinggi itu akan ditinggalkan oleh masyarakat. Pembelajaran abad ke-21 adalah pembelajaran untuk HIDUP (learning for life) BUKAN sekedar pembelajaran untuk sekolah (learning for school), Model pembelajaran abad ke-21 ditunjukkan dalam Bagan 4 terlampir.

 

Contoh Model Pembelajaran untuk Perawat (Nurses) tentang Quality & Safety Education yang mengintegrasikan sekaligus Attitude (A), Knowledge (K), and Skills (S) sehingga meningkatkan nilai Efektivitas Kompetensi (EC) = A x K x S ditunjukkan dalam Bagan 5 terlampir.

 

Sekolah dan Perguruan Tinggi dapat menggunakan PDCA “Competency” Management System Framework dalam Bagan 6 terlampir untuk meningkatkan Efektivitas Kompetensi (EC) lulusan mereka. Hal ini memungkinkan manajemen sekolah dan perguruan tinggi untuk melibatkan pihak bisnis dan industri secara aktif sehingga membentuk sistem sekolah dan perguruan tinggi yang terkoneksi langsung ke pasar tenaga kerja menggunakan PDCA Education Management System Framework seperti ditunjukkan dalam Bagan 7 terlampir.

 

Setelah lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang TELAH menerapkan model pembelajaran abad ke-21 itu memasuki pasar tenaga kerja, maka lulusan baru dari sekolah dan perguruan tinggi itu akan melanjutkan learning and growth di dunia bisnis dan industri, di mana dalam hal ini Manajemen Bisnis dan Industri juga TELAH membangun MODEL Sistem Pendidikan dan Pelatihan Industri yang professional, agar mempercepat lulusan perguruan tinggi itu mencapai SUCCESS karier dalam bisnis dan industri.

Strategi-strategi di atas akan MAMPU meningkatkan nilai Efektivitas Kompetensi (EC) dari Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia mencapai nilai jauh di atas satu sampai tak terbatas, yaitu mencapai KREATIFITAS dan INOVATIF seperti ditunjukkan dalam Bagan 8 terlampir.

 

Jika kita mampu meningkatkan nilai Efektivitas Kompetensi (EC), maka kita akan mampu meningkatkan PRODUKTIVITAS yang secara otomatis akan menghemat waktu dan meningkatkan kesejahteraan uang (pendapatan ekonomi) bagi seluruh masyarakat Indonesia yang lulus dari sistem sekolah yang professional (Lihat Bagan 9 terlampir).

 

Salam SUCCESS.

WordPress Tabs Free Version

Posted in
css.php