-
Bahasa Indonesia
-
English
Yang kontra terhadap kenaikan harga BBM ibarat seorang anak yang BELUM TAHU bahwa keadaan ekonomi orang tuanya yang TELAH PARAH.
Jika kita memperhatikan besaran SUBSIDI dalam RAPBNP 2014 (lihat Bagan terlampir) yang berjumlah Rp. 444,86 Trilyun itu, maka akan diketahui bahwa SUBSIDI Energi telah mencapai Rp. 392,13 Trilyun (88,15%) yaitu SUBSIDI BBM+Gas LPG 3kg sebesar Rp. 284,98 Trilyun (64,06%) dan SUBSIDI Listrik sebesar Rp. 107,14 Trilyun (24,09%). Jika harga BBM TIDAK dinaikkan, maka PASTI SUBSIDI 2015 akan SEMAKIN meningkat! Lalu dari mana uangnya?, sedangkan HUTANG Indonesia telah membengkak sehingga menjadi salah satu dari 11 negara penghutang terbesar di dunia. Jika SUBSIDI BBM terus-menerus meningkat, maka SUBSIDI NON-ENERGI (pangan, pupuk, benih, PSO, bunga kredit program, dan pajak) PASTI menjadi MENURUN, dan hal ini akan membuat perekonomian Indonesia dapat menjadi LUMPUH seperti KRISIS ekonomi 1998.
Justru yang HARUS dipertanyakan sekarang adalah setelah kenaikan harga BBM itu, apa langkah STRATEGIK selanjutnya? Jika HANYA berupa pengalihan SUBSIDI dari ENERGI ke NON-ENERGI saja TANPA melakukan diversifikasi penggunaan energi HANYA mengandalkan BBM (premium dan solar) TANPA beralih ke gas (BBG) maka akar MASALAH dalam DEFISIT transaksi perdagangan MIGAS akan terus-menerus meningkat (sekarang telah mencapai sekitar 3,3% dari PDB Indonesia), SEHINGGA permasalahan SUBSIDI BBM akan meningkat lagi di tahun 2016 dan seterusnya, kita HANYA berkutat lagi untuk menaikkan kembali harga BBM setelah SUBSIDI ENERGI membengkak di tahun-tahun mendatang!
Masalah kemiskinan dan penurunan daya beli masyarakat memang HARUS di atasi SEGERA, karena memang perekonomian Indonesia berada dalam keadaan DARURAT. Dalam jangka panjang HARUS diciptakan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (bukan sekedar bagi-bagi uang GRATIS) yang mengandalkan pada peningkatan kinerja sistem perekonomian makro Indonesia yang bertumpu pada KUALITAS & PRODUKTIVITAS dari produksi di segala bidang (pertanian, industri , dan jasa) BUKAN seperti sekarang ini yang mengandalkan pada peningkatan konsumsi sehingga menciptakan defisit transaksi berjalan (impor lebih besar daripada ekspor), peningkatan suku bunga, peningkatan inflasi, dstnya.
Susahnya kalau kita ber-OPINI TANPA memahami akar permasalahan yang sesungguhnya dalam perekonomian makro Indonesia berupa FAKTA (data dan informasi).
Sebagai informasi lengkap tentang bagaimana parahnya perekonomian makro Indonesia pada saat sekarang bisa download beberapa informasi di bawah ini.
- Laporan terbaru dari IMF pada Oktober 2014 dalam World Economic Outlook berikut:
http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2014/02/ - Statistik Utang Luar Negeri Indonesia:
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CCMQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.bi.go.id%2Fen%2Firu%2Feconomic-data%2Fexternal-debt%2FContents%2FSULNI%2520Maret%25202014.pdf&ei=YHNsVPjTDYyKuATyz4LgDQ&usg=AFQjCNFX21SQKNysHiVkRfckJX5IbsmDJw&bvm=bv.80120444%2Cd.c2E
Mengapa saya menyatakan bahwa perekonomian Indonesia PARAH yang menyebabkan RAPBN 2015 yang diajukan oleh Pemerintahan SBY-Boediono menjadi TIDAK SEHAT? Mari kita lihat satu per satu dalam Bagan terlampir.
- RAPBN 2015 mengalami defisit (pengeluaran lebih besar daripada pendapatan) sekitar Rp. 257,57 trilyun (2,32% dari PDB). Hal ini merupakan keberlanjutan dari perekonomian makro Indonesia yang BURUK sejak 2013 sampai 2014 ini.
- Defisit transaksi berjalan (impor lebih besar daripada ekspor) pada 2013 berdasarkan laporan IMF Oktober 2014 menunjukkan bahwa pada tahun 2013 Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara di dunia yang perekonomian makronya mengalami defisit sebesar USD 28,6 miliar atau -3,3% dari PDB (produk domestik bruto) 2013 yang sebesar USD 868,3 miliar.
- Akar masalah dari defisit ekonomi Indonesia pada tahun 2013 bersumber dari transaksi perdagangan MIGAS, di mana terjadi defisit sebesar USD 12,63 miliar, meningkat secara signifikan dari defisit USD 5,8 miliar pada tahun 2012. Jika defisit perdagangan migas pada tahun 2013 ini diperinci berdasarkan jenis produk, maka defisit terbesar terjadi pada hasil minyak (premium dan solar) sebesar minus USD 24,27 milyar, defisit minyak mentah sebesar minus USD 3,38 miliar, sedangkan perdagangan gas (LNG) mengalami surplus ekonomi sebesar plus USD 15,02 miliar.
- Jika BBM TIDAK dinaikkan harganya, maka alokasi SUBSIDI dalam RAPBN 2015 adalah sebesar Rp. 433,51 Trilyun dengan alokasi anggaran untuk SUBSIDI Non-Energi (pangan, pupuk, benih, subsidi PSO untuk Kereta Api, Kapal Laut dan LKBN Antara, subsidi bunga kredit program, subsidi pajak) HANYA Rp. 69,98 Trilyun. Hal ini berarti SUBSIDI Energi (BBM+LPG 3kg dan PLN) akan menjadi sekitar Rp. 433,51 Trilyun – Rp. 69,98 Trilyun = Rp. 363,53 Trilyun yang berarti terjadi pemborosan yang sering disebut TIDAK TEPAT SASARAN.
Apakah masalah telah selesai yang hanya berkaitan dengan SUBSIDI ENERGI yang sangat besar itu?
Belum; karena masih ada lagi masalah hutang luar negeri yang dalam RAPBN 2015 harus dialokasikan anggaran sebagai berikut:
- Pembayaran bunga TERHADAP hutang Indonesia yang telah mencapai sekitar USD 290 Milyar itu pada tahun 2015 dialokasikan anggaran sebesar Rp. 154,04 Trilyun. Ini baru BUNGA, belum lagi HARUS mencicil HUTANG POKOK yang dalam RAPBN 2015 adalah sekitar Rp. 66,53 Trilyun. Indonesia telah TERPERANGKAP dalam HUTANG (Debt Trap) karena pada tahun 2015 MASIH meminjam dari luar negeri HANYA Rp. 47,04 Trilyun TETAPI harus membayar CICILAN HUTANG POKOK sebesar Rp. 66,53 Trilyun; sehingga pembiayaan luar negeri menjadi MINUS Rp. 23,82 Trilyun.
- Jika HUTANG POKOK Indonesia telah mencapai USD 290 Milyar dan CICILAN (Pembayaran kembali) Hutang POKOK adalah Rp. 66,53 Trilyun (atau sekitar USD 5,5 Milyar, Kurs USD-IDR = Rp. 12,000); maka INDONESIA baru bisa BEBAS HUTANG selama USD 290 Milyar / USD 5,5 Milyar = 53 Tahun. Artinya BEBAN HUTANG INDONESIA baru dapat dilunasi dalam masa dua generasi mendatang.
Semua informasi di atas berupa: SUBSIDI + CICILAN POKOK HUTANG + CICILAN BUNGA dalam RAPBN 2015 adalah sebesar: Rp. 433,51 T + Rp. 66,53 T + Rp. 154,04 T = Rp. 653,88 T. Jumlah anggaran sebesar ini adalah NON-PRODUKTIF, Tidak Bisa Digunakan untuk Pembangunan (Terbuang PERCUMA).
Jika anggaran untuk RAPBN 2015 yang sekitar Rp. 2019 T itu dipotong Rp. 653, 88 T (SUBSIDI + Cicilan Pokok Hutang + Bunga), kemudian dipotong lagi anggaran untuk belanja pegawai (gaji + perjalanan dinas + rapat-rapat + dll), kemudian dipotong lagi dengan kemungkinan KORUPSI (sekian persen), MAKA berapa sesungguhnya anggaran REAL untuk Pembangunan di Indonesia?
Sekedar gambaran bahwa Anggaran untuk pembangunan desa (Anggaran Desa) dalam RAPBN 2015 HANYA dialokasikan sekitar Rp. 9,1 Trilyun.
Uraian di atas menunjukkan bahwa SIAPAPUN Presiden RI MASIH AKAN mengalami permasalahan ekonomi makro dalam jangka panjang! Apa akar masalahnya? Akar masalah adalah DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN dari perdagangan MIGAS Indonesia, yang mengakibatkan peningkatan HUTANG LN, sehingga banyak anggaran terbuang percuma untuk SUBSIDI + Pembayaran Kembali Pokok Hutang + Bunga Hutang yang telah mencapai Rp. 154 T per tahun itu. Bagaimana CARA melunasi HUTANG Indonesia merupakan masalah krusial dalam jangka panjang.
Saya menyatakan bahwa langkah-langkah strategik seperti pemberantasan mafia migas, perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dll HARUS dibenahi agar sesuai Pasal 33 UUD 1945. Dan yang terpenting adalah membangun infrastruktur gas sehingga mampu mengalihkan ketergantungan pada BBM yang mahal dan akan habis itu menjadi menggunakan BBG yang produksinya berlimpah, murah dan ramah lingkungan. Langkah selanjutnya melakukan penguatan struktur industri yang bertumpu pada peningkatan kualitas dan produktivitas di segala bidang produksi industri primer, sekunder, dan tersier untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan yang terus-menerus terjadi defisit itu. Dengan demikian BUKAN sekedar pengalihan SUBSIDI dari Subsidi Energi menjadi Subsidi Non-Energi, TETAPI membangun sistem yang menguntungkan masyarakat Indonesia termasuk perbaikan fasilitas publik, pembebasan biaya pendidikan dan kesehatan untuk seluruh rakyat (bukan hanya rakyat miskin). Negara yang sistem jaminan sosialnya terbaik di dunia seperti Canada, Jerman, Singapura, dll dapat ditiru. Itulah tugas-tugas DPR untuk mengawal dan ikut mengkoreksi berbagai kebijakan SUBSIDI yang salah selama ini. Jika hal-hal di atas tidak dilakukan, maka momentum kenaikan harga BBM akan HILANG dan kita akan terperangkap terus-menerus dengan persoalan SUBSIDI yang meningkat, akibatnya kebijakan ekonomi makro yang efektif dan efisien TIDAK BISA diterapkan. Lihat saja dampak dari kenaikan BBM, langsung direspons oleh BI dengan menaikkan suku bunga menjadi 7,75% per tahun, akibatnya suku bunga kredit akan menjadi mahal, dan kurs rupiah akan terus melemah. Inefisiensi banyak terjadi dari kebijakan subsidi BBM, Listrik, dll dalam dunia industri Indonesia. Bayangkan saja industri-industri Indonesia yang menikmati harga BBM bersubsidi, listrik bersubsidi, pajak bersubsidi, upah pekerja “murah”, dll TETAPI TIDAK BISA bersaing dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan yang lebih miskin daripada Indonesia ketika memulai masa pembangunan mereka tahun 1960-an. Saya berani menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kaya SDA yang mismanagement sehingga SDM-nya menjadi miskin dalam berbagai aspek baik ekonomi maupun IPTEK.
Silakan di share. Terlampir RAPBN 2015 yang “seolah-olah bagus” PADAHAL TIDAK SEHAT. Dengan adanya koalisi KMP vs. KIH, maka diharapkan kontrol akan benar-benar dilaksanakan oleh DPR RI terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CD8QFjAG&url=http%3A%2F%2Fwww.kemenkeu.go.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2FSubkatalogdata%2FNK%2520RAPBN%25202015%2520web.pdf&ei=jTptVIOvGsqhugTQw4LYCw&usg=AFQjCNEfT8___DF1J_NmszVkIEe1552EGA&bvm=bv.80120444%2Cd.c2E
Salam SUCCESS.
Why Must Fuel Oil Price Rise (Critical Action in an Emergency)?
Those who are against the fuel oil price increase is like a child who HAS NOT KNOWN that his parents’ economic situation HAS BEEN SEVERE.
If we consider the amount of SUBSIDIES in 2014 RAPBNP/Proposed National Budget (see attached picture) that comes to Rp 444.86 Trillions, then it would be discovered that Energy SUBSIDIES have reached Rp 392.13 Trillions (88.15%), which consist of Fuel Oil + 3kg LP Gas SUBSIDY of Rp 284.98 Trillions (64,06%) and Electric SUBSIDY of Rp 107.14 Trillions (24.09%). If Fuel Oil price ISN’T raised, then CERTAINLY 2015 SUBSIDIES would KEEP increasing! Then where would the money come from?, whereas Indonesia’s DEBT has swollen up, making it one of the 11 world’s most indebted countries. If Fuel Oil SUBSIDY continuously increased, then NON-ENERGY SUBSIDIES (food, fertilizer, seed, PSO/Public Service Obligation, credit interest, and tax) would DEFINITELY decrease; and this would make Indonesian economy paralyzed just like the 1998’s economic CRISIS.
Precisely what MUST be questioned now is after that fuel oil price increase, what is the next STRATEGIC step? If it’s ONLY a diversion of SUBSIDIES from ENERGY to NON-ENERGY WITHOUT diversifying the energy consumption, ONLY relying fuel oil (premium and solar) WITHOUT switching to gas fuel, then the root of PROBLEMS in the Oil and Gas Trade DEFICIT will continuously increase (now has reached about 3.3% of Indonesia’s GDP); THUS, the problem of fuel oil SUBSIDY would continue to increase again in 2016 and so on. We would ONLY struggle again to increase fuel oil price after the ENERGY SUBSIDIES will have been swelling in the upcoming years!
The problems of poverty and the decline in purchasing power are indeed MUST be immediately overcome, because Indonesian economy is in an EMERGENCY. In the long term, there MUST be created social security system for all Indonesians (not just giving away FREE cash) that relies on the performance improvement of Indonesia’s macroeconomic system, which focuses on QUALITY & PRODUCTIVITY in all fields of productions (agricultural, industrial, and service); UNLIKE today, which relies on the consumption increase that creates and increases current account deficit (imports bigger than exports), interest rate, inflation rate, and so on.
How hard it is if we OPINE WITHOUT comprehending the FACTUAL roots of problems in Indonesian macroeconomy (based on data and information).
As more complete information about how severe the current Indonesian macroeconomy actually is, you can download some information below.
- The latest IMF report in October 2014 in the following World Economic Outlook:
http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2014/02/ - Indonesia’s Foreign Debt Statistics:
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CCMQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.bi.go.id%2Fen%2Firu%2Feconomic-data%2Fexternal-debt%2FContents%2FSULNI%2520Maret%25202014.pdf&ei=YHNsVPjTDYyKuATyz4LgDQ&usg=AFQjCNFX21SQKNysHiVkRfckJX5IbsmDJw&bvm=bv.80120444%2Cd.c2E
Why do I state that SEVERE Indonesian economy causes 2015 RAPBN proposed by government of SBY-Boediono becomes UNHEALTHY? Let’s see one by one in the attached picture.
- 2015 RAPBN/Proposed National Budget has deficit (expenses bigger than income) about Rp 257.57 trillions (2.32% of GDP). This is the continuation of Indonesia macroeconomy, which had WORSENED since 2013 until this 2014.
- Current account deficit (imports bigger than exports) in 2013 based on IMF report in October 2014 shows that in 2013, Indonesia was one of the 10 countries in the world which has its macroeconomic deficit of USD 28.6 billions or -3.3% of its 2013 GDP, which amounts to USD 868.3 billions.
- The root of problem of the Indonesia’s economic deficit in 2013 comes from the Oil and Gas trade transactions, where there is a deficit of USD 12.63 billions, a significant increase from the deficit of USD 5.8 billions in 2012. If this Oil and Gas trade deficit in 2013 is looked in detail based on the product type, then the biggest deficit happens in the processed fuel trade(premium and solar) at minus USD 24.27 billions; crude oil trade deficit is at minus USD 3.38 billions, whereas LNG trade has economic surplus of USD 15.02 billions.
- If fuel oil price ISN’T increased, then SUBSIDIES allocation in 2015 RAPBN/Proposed National Budget would amount to Rp 433.51 Trillions with budget allocation for Non-Energy SUBSIDIES (food; fertilizer; seed; PSO/Public Service Obligations for Kereta Api/Trains, Kapal Laut/Ships, and LKBN Antara/Antara National Institute of Office News; interest rate program; tax) ONLY amount to Rp 69.98 Trillions. This means Energy SUBSIDIES (Fuel Oil + 3kg LP Gas and PLN/State Electricity Company) would become around Rp 433.51 Trillions – Rp 69.98 Trillions = Rp 363.53 Trillions, which means there would be unnecessary waste that is often called NOT ON TARGET.
Will solving the problem of huge ENERGY SUBSIDIES also repairs everything?
Not yet; because there is another problem of foreign debt in 2015 RAPBN/Proposed National Budget that must be allocated as follows:
- For interest rate payment TOWARDS Indonesia’s debt, that has reached about USD 290 Billions in 2015, is allocated a budget of Rp 154.04 Trillions. This is just INTEREST, mind you, there is also PRINCIPAL DEBT in 2015 RAPBN/Proposed National Budget of about Rp 66.53 Trillions. Indonesia has been caught in the Debt Trap because in 2015, it STILL borrowed from abroad for ONLY Rp 47.04 Trillions YET ought to pay PRINCIPAL DEBT REPAYMENTS of Rp 66.53 Trillions; thus, making its foreign financing to be MINUS Rp 23.82 Trillions.
- If Indonesia’s PRINCIPAL DEBT had reached USD 290 Billions with the PRINCIPAL Debt REPAYMENT of Rp 66.53 Trillions (or about USD 5.5 Billions, Exchange Rate USD-IDR = Rp 12,000), then Indonesia would have been DEBT FREE for USD 290 Billions / USD 5.5 Billons = 53 Years. This means Indonesia’s DEBT BURDEN would have been completely paid off in two upcoming generations.
All the information above form: SUBSIDIES + PRINCIPAL DEBT REPAYMENTS + INTEREST PAYMENTS in 2015 RAPBN/Proposed National Budget amount to: Rp 433.51 T + Rp 66.53 T + Rp 154.04 T = Rp 653.88 T. The amount of budget this big is NON-PRODUCTIVE, because It Can’t Be Used for the Development (Uselessly Wasted).
If the budget for 2015 RAPBN/Proposed National Budget of about Rp 2,019 T is cut by Rp 653.88 T (for SUBSIDIES + PRINCIPAL DEBT REPAYMENTS + INTEREST), then is further cut for government personnel expenditures (salaries + travels + meetings + etc.), and then is further cut by the possibility of CORRUPTION (of some percent), THEN how much is actually the REAL budget for the Development in Indonesia?
Just to illustrate that the Budget for rural development (Village Budget) in 2015 RAPBN/Proposed National Budget is only allocated for about Rp 9.1 Trillions.
The analysis above shows that WHOEVER RI President is, he WOULD STILL experience long-term macroeconomic problems! What is the root of the problems? The root to the problems is the CURRENT ACCOUNT DEFICIT from Indonesia’s Oil and Gas Trade, which causes the increase in FOREIGN DEBT; thus much of the budget are uselessly wasted for SUBSIDIES + PRINCIPAL DEBT REPAYMENTS + INTEREST RATE that have reached Rp 154 T per year. How to pay off Indonesia’s DEBTS is a long-term crucial problem.
I state that strategic steps like eradication of oil and gas mafias, bilateral agreements with foreign nations, etc. MUST be fixed in order to fit Article 33 of 1945 Constitution. The most important is to build gas infrastructure so that we can divert the dependence on the expensive and non-renewable fuel oil into using gas fuel that is abundantly produced, cheap, and environmentally-friendly. The next step is to strengthen the industrial structure that focuses on the quality and productivity improvements in all fields of primary, secondary, and tertiary industrial productions in order to improve current account balance that has been continuously in deficit. Therefore, it ISN’T only about diverting SUBSIDIES from Energy Subsidies toward Non-Energy Subsidies, BUT building prosperous system for all Indonesians including improvement of public facilities, exemption of tuition and healthcare fees for all (not only for the poor). Countries with the world’s best social security system like Canada, Germany, Singapore, etc. can be made as examples. Those are the tasks for the House of Representatives to oversee and participate in correcting various incorrect SUBSIDIES policies all this time. If all things mentioned above are not done, then momentum of fuel oil price increase would DISAPPEAR and we would be continuously entrapped with the ever increasing SUBSIDIES problems; thus, effective and efficient macroeconomic policies can’t be implemented. Just look at the impact of fuel oil price increase, it is immediately responded by Bank of Indonesia by increasing interest rate to 7.75% per year; in turn, the lending rate would be more expensive, and rupiah exchange rate would continue to weaken. A lot of inefficiencies happen due to policies of subsidizing fuel oil, electricity, etc. in Indonesian industries. Just imagine Indonesian industries that enjoy fuel oil price subsidy, electricity subsidy, tax subsidy, cheap labor costs, etc., BUT ARE STILL UNABLE to compete with other countries like South Korea, which had been poorer than Indonesia when they started their development era in 1960s. I dare to state that Indonesia is a nation rich in natural resources that is being mismanaged so that its human resources become poor in all aspects whether in economic or in science and technology.
Please share. The following is 2015 RAPBN/Proposed Budget that “seems good” BUT IS UNHEALTHY. With the existence of KMP vs. KIH coalitions, it is expected that control would be actually implemented by RI House of Representatives towards Jokowi-JK government.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CD8QFjAG&url=http%3A%2F%2Fwww.kemenkeu.go.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2FSubkatalogdata%2FNK%2520RAPBN%25202015%2520web.pdf&ei=jTptVIOvGsqhugTQw4LYCw&usg=AFQjCNEfT8___DF1J_NmszVkIEe1552EGA&bvm=bv.80120444%2Cd.c2E
Best Regards for SUCCESS.