2020

Home » Blog » 2020 » LOTS, MOTS, and HOTS

5-LSS SC Systems&Mngt-VG

LOTS, MOTS, and HOTS



Oleh Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt and Certified Management Systems Lead Specialist

——————–
• APICS (www.apics.org) Certified in Production and Inventory Management (CPIM), Certified in Production and Inventory Management Fellow (CPIM-F), Certified Supply Chain Professional (CSCP), Certified Supply Chain Professional Fellow (CSCP-F),

• International Quality Federation (www.iqf.org) Six Sigma Master Black Belt (SSMBB),

• American Society for Quality (www.asq.org) Certified Six Sigma Black Belt (CSSBB), Certified Quality Engineer (CQE), Certified Quality Auditor (CQA), Certified Manager of Quality/Organizational Excellence (CMQ/OE), Certified Quality Improvement Associate (CQIA)

• Registration Accreditation Board (www.exemplarglobal.org) Certified Management Systems Lead Specialist (CMSLS),

• Insinyur Profesional Utama (IPU) – Badan Kejuruan Teknik Industri- Persatuan Insinyur Indonesia (BKTI – PII)

• Asean Engineer Register (AER No. 10084), Asean Federation of Engineering Organizations (AFEO)

• Senior Member of the American Society for Quality (Member #: 00749775), International Member of the American Production and Inventory Control Society/Association for Supply Chain Management (Member #: 1023620), and Senior Member of the Institute of Industrial and Systems Engineers (Member #: 880194630).
———————–

Pengantar

Steffen Saifer (2018) dalam buku HOT Skills: Developing Higher-Order Thinking in Young Learners, membagi Taxonomy of Thinking Skills (ToTS) ke dalam tiga tingkat, yaitu: LOTS, MOTS, dan HOTS sebagai berikut.

LOTS (Lower Order Thinking Skills), merupakan keterampilan berpikir fungsional, di mana informasi diperoleh melalui mengkopi, meniru, membeo, mengikuti peraturan-peraturan dan pengarahan-pengarahan, memorisasi, mengingat, memperoleh kembali informasi itu, mengetahui atau melakukan melalui menghafal, mengidentifikasi dan mengkuantifikasikan sesuatu.

MOTS (Middle Order Thinking Skills), merupakan keterampilan berpikir logika, di mana informasi digunakan untuk mengkarakterisasikan, mengasosiasikan, mendiferensiasikan, mengkategorisasikan, mengurutkan, mempolakan, menghitung, menghubungkan sebab dan akibat, merepresentasikan, dan menyimpulkan.

HOTS (Higher Order Thinking Skills), terdiri dari dua keterampilan berpikir, yaitu: keterampilan berpikir kritis dan keterampilan berpikir kreatif.

Dalam keterampilan berpikir kritis, informasi ditransformasikan untuk menguraikan, mengevaluasi, mengambil kesimpulan, mengubah paradigma, dan memindahkan sesuatu.

Sedangkan dalam keterampilan berpikir kreatif, informasi diciptakan untuk berimajinasi, menginterpretasikan, mensintesiskan, menginduksikan, membuat teori, membingkai ulang, dan menghasilkan sesuatu yang baru. Ide-ide kreatif hanya muncul dari keterampilan berpikir kreatif, kemudian apabila ide-ide kreatif itu diterapkan, maka akan menciptakan inovasi.

Pembelajaran yang sesungguhnya baru akan mampu menciptakan sumber daya manusia unggul, jika pembelajaran yang dilakukan itu berada pada pembelajaran tingkat tinggi (HOTS = Higher Order Thinking Skills).

Dampak Negatif dari Pembelajaran Tingkat Rendah (LOTS = Lower Order Thinking Skills)

Secara konseptual beberapa dampak negatif dari pembelajaran tingkat rendah dalam dunia pendidikan maupun dunia industri adalah sebagai berikut:

1.         Orang-orang berpikir fungsional saja tidak mampu berpikir dalam konteks sistem. Seperti bagian HRD (Human Resource Development) hanya berpikir dalam konteks pengembangan sumber daya manusia sesuai konsep fungsional dari HRD itu BUKAN berpikir dalam konteks organisasi sebagai System of Systems (SoS) yang memiliki saling keterkaitan (saling berketergantungan) antara semua fungsi dalam organisasi: misalnya bagaimana keterkaitan fungsi pemasaran sebagai lokomotif organisasi bisnis dan industri yang akan menghela gerbong-gerbong seperti fungsi PPIC (Production Planning and Inventory Control), fungsi produksi, fungsi pembelian, fungsi maintenance pabrik atau bisnis, fungsi jaminan kualitas, fungsi akuntansi dan keuangan, dan lain-lain. Jika pembelajaran tingkat rendah ini dilakukan pada program studi magister manajemen (MM), maka seorang mahasiswa yang mengambil konsentrasi tertentu, misalnya konsentrasi human resource management, hanya secara kaku mempelajari kepentingan manajemen sumber daya manusia saja tanpa memiliki wawasan tentang keterkaitan fungsi human resource management dengan fungsi-fungsi lain dalam manajemen organisasi sebagai system of systems (SoS).

2.         Orang-orang lebih mementingkan urusan dan kepentingan fungsional saja, dalam dunia nyata disebut memiliki “ego sektoral”, tidak dalam konteks system of systems (SoS). Misalnya dalam Negara Indonesia, fungsi pendidikan sibuk dengan urusan dan kepentingan dalam bidang pendidikan, tanpa peduli permasalahan dan kepentingan sumber daya manusia dalam fungsi bisnis dan industri untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, sehingga fungsi pendidikan tidak peduli dengan link and match antara dunia pendidikan dan dunia industri.

3.         Hanya menciptakan sumber daya manusia pembeo, ABIS (Asal Bapak Ibu Senang), tidak memiliki kepercayaan diri karena tidak memahami konsep System of Systems (SoS) secara komprehensif sehingga tidak berkompetensi dalam pembuatan keputusan, tidak berani bertanggung jawab, tidak mandiri, dst.

4.         Hanya menciptakan sumber daya manusia mekanistik, patuh secara kaku terhadap peraturan tanpa memiliki fleksibilitas menyesuaikan dengan fenomena dalam dunia nyata meskipun perilaku System of Systems (SoS) telah berubah.

5.         Tidak mampu menciptakan sumber daya manusia yang kritis, kreatif dan inovatif, karena karakteristik sumber daya manusia unggul yang dibutuhkan dalam era industry 4.0 dan society 5.0 hanya dapat diciptakan melalui pembelajaran tingkat tinggi (HOTS = Higher Order Thinking Skills).

Masih banyak dampak negatif yang merugikan dalam pengembangan sumber daya manusia unggul.

Beberapa dampak negatif dalam pengembangan sumber daya manusia berdasarkan pembelajaran tingkat rendah (LOTS = Lower Order Thinking Skills) di atas itu, dalam jangka panjang akan membuat sumber daya manusia itu semakin tertinggal dalam mengikuti kemajuan perkembangan iptek maupun berbagai aspek dalam System of Systems (SoS) modern.

Fenomena pembelajaran tingkat rendah ini di Indonesia terjadi hampir di semua bidang kehidupan, baik pada pendidikan formal maupun informal, pusat-pusat pendidikan dan pelatihan organisasi, dll, sehingga esensi dari pembelajaran untuk memperoleh Tacit Knowledge, yang memberikan 95% kontribusi pada total knowledge tidak tercapai. Patut dicatat bahwa Total Knowledge itu terdiri dari Tacit Knowledge (95%) dan Explicit Knowledge (5%).

Hal yang diungkapkan di atas itu, secara konseptual telah diungkapkan dalam buku Steffen Saifer (2018) berjudul: Higher Order Thinking Skills: Developing Higher-Order Thinking in Young Learners. Dalam buku ini diuraikan secara jelas tentang Taxonomy of Thinking Skills (ToTS) bahwa Output utama dari proses berpikir, adalah: (1) Memilih dan membuat keputusan, (2) Menyesesaikan masalah, (3) Merencanakan dan membuat strategi, (4) Menganalisis, dan lain-lain. Output utama ini hanya mungkin diperoleh melalui HOTS (Higher Order Thinking Skills).

Pertanyaan VG: Apakah mungkin kita akan mampu menciptakan ide-ide kreatif untuk diimplementasikan menjadi karya-karya inovatif melalui pembelajaran LOTS (Lower Order Thinking Skills)? Sedangkan secara konseptual hal ini hanya terjadi dalam proses pembelajaran tingkat tinggi (HOTS = Higher Order Thinking Skills).

Bagaimana Pembelajaran HOTS yang Sesungguhnya?

                Berdasarkan kompetensi VG dalam bidang Teknik Sistem dan Manajemen Industri, maka ia akan membahas pembelajaran HOTS dalam hal Lean Six Sigma Supply Chain Management.

Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) maupun Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS) dalam pembelajaran manajemen Lean Six Sigma Rantai Pasok (Lean Six Sigma Supply Chain Management) ditunjukkan dalam Bagan 1 berikut.

Bagan 1. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS) dalam Pembelajaran Lean Six Sigma Supply Chain Management

Pembelajaran HOTS (High Order Thinking Skills) untuk Lean Six Sigma Supply Chain Management (LSS SCM) adalah pembelajaran sampai pada tingkat pemahaman dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, bukan sekedar menerapkan dalam praktek LSS SCM itu.

Pembelajaran LSS SCM di Indonesia adalah pembelajaran tingkat rendah (LOTS = Low Order Thinking Skills) sehingga bukan saja pembelajar tidak mampu menerapkan LSS SCM tetapi pembelajar tidak memahami secara efektif dan efisien ilmu LSS SCM itu, karena hanya bersifat informasi saja dalam membaca buku-buku teks (textbooks).

Karena LSS SCM adalah bagian dari Industrial Systems Engineering and Management (ISEM), maka pembelajaran HOTS akan terjadi apabila kita memahami secara baik tentang ISEM itu. Ada ungkapan bahwa: Belajar ISE tanpa memahami Manajemen, maka kita hanya akan menjadi ahli kalkulasi (hitung menghitung) saja, sebaliknya belajar Manajemen tanpa memahami ISE adalah mimpi saja karena kita tidak memahami bagaimana menerapkan ISEM dalam dunia nyata. Agar diketahui berdasarkan pandangan sistem, setiap organisasi apapun di dunia merupakan SoS (System of Systems).

Agar terjadi pembelajaran HOTS tentang LSS SCM secara efektif dan efisien, maka kita harus memahami dua hal sekaligus, yaitu: (1) memahami dan menerapkan Dimensi Pengetahuan (Knowledge Dimension), dan (2) memahami dan menerapkan Dimensi Proses Kognitif, bisa menggunakan Taksonomi Bloom atau Model DIKIW (Data-Information-Knowledge-Intelligence-Wisdom)..

Dimensi Pengetahuan (Knowledge Dimension) tentang LSS SCM

Pembelajaran HOTS tentang LSS SCM harus mampu mencapai empat dimensi pengetahuan A, B, C dan D yang akan dibahas berikut.

A.        Pengetahuan Faktual (Factual Dimension): Elemen-elemen dasar di mana seorang pembelajar harus mengetahui sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dipelajari agar pembelajar itu mampu menyelesaikan masalah, melakukan perbaikan kinerja terus-menerus, dan inovasi.

Contoh pengetahuan faktual tentang LSS SCM ini adalah: pengetahuan yang berkaitan dengan terminologi, pengetahuan yang berkaitan dengan sumber-sumber daya utama membangun sistem LSS SCM, sistem informasi kinerja yang terdiri dari tujuh kriteria terukur secara terintegrasi, seperti: (1) Efektivitas, (2) Efisiensi, (3) Kualitas, (4) Produktivitas, (5) Inovasi, (6) Kualitas Kehidupan Kerja, dan (7) Profitability/Budgetability. Sistem informasi kinerja Lean Six Sigma Supply Chain Management diukur sepanjang rantai nilai SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer) ditunjukkan dalam bagan berikut.

Bagan 2. Sistem Pengukuran Kinerja Sepanjang Rantai SIPOC

B.        Pengetahuan Konseptual (Conceptual Knowledge): Kesalingtergantungan di antara elemen-elemen dasar dalam struktur sistem yang lebih besar sehingga memungkinkan elemen-elemen itu dapat berfungsi secara bersama dan terintegrasi.

Contoh pengetahuan konseptual ini berkaitan dengan klasifikasi dan kategori seperti dalam manajemen kelas dunia terdiri dari tujuh kategori: (1) kepeminpinan, (2) strategi, (3) fokus pelanggan, (4) pengukuran kinerja, analisis, dan manajemen pengetahuan, (5) fokus pengembangan sumber daya manusia, (6) fokus perbaikan/peningkatan operasional, dan (7) hasil-hasil kinerja organisasi. Atau jika kita mengaitkan dengan semua standar internasional ISO, maka selalu terdapat tujuh kategori berikut: (1) Konteks Organisasi, (2) Kepemimpinan, (3) Perencanaan, (4) Pendukung (Support), (5) Operasional (Operation), (6) Evaluasi Kinerja (Performance Evaluation), dan (7) Perbaikan atau Peningkatan Terus-menerus (Continual Improvement).

Contoh lain dari pengetahuan konseptual berkaitan dengan prinsip-prinsip dan generalisasi, misal prinsip-prinsip bisnis dan industri berkaitan dengan hukum permintaan dan penawaran, prinsip-prinsip 5P seperti: People excellence, Process excellence, Product excellence, Profitability, and Performance improvement programs. Juga termasuk dalam pengetahuan konseptual adalah teori-teori, model-model, dan lain-lain. LSS SCM akan mengintegrasikan sistem-sistem manajemen kelas dunia itu menjadi LSS SCM System secara terintegrasi sebagai praktek manajemen organisasi kelas dunia. Contoh VG mendesain Sistem Manajemen LSS SCM yang mengintegrasikan dengan Malcom Baldrige serta mengaitkan dengan nilai-nilai spiritual seperti  ditunjukkan dalam Bagan 3.

Bagan 3. VG Way of Excellence

            Berdasarkan pembelajaran tingkat tinggi (HOTS) pada Bagan 3 itu, maka VG mampu mendesain LSS SCM untuk diterapkan di Indonesia yang telah didaftarkan untuk memiliki Hak Cipta dengan Nomor Registrasi  No.  000136140 tanggal 14 Februari 2019 seperti ditunjukkan dalam Bagan 4.

Bagan 4. Model Desain Lean Six Sigma Supply Chain Management di Indonesia

C.        Pengetahuan Prosedural (Procedural Knowledge): Berkaitan dengan metode-metode pencarian dan melakukan sesuatu, beserta kriteria untuk menggunakan keterampilan-keterampilan tentang sesuatu itu, algoritma, teknik-teknik dan metode-metode. Contoh pengetahuan prosedural yang berkaitan dengan keterampilan spesifik terkait dengan subyek dan algoritma dalam analisis data untuk memperoleh informasi bagi pembuatan keputusan manajerial. Juga berkaitan dengan Teknik-teknik spesifik dan metodologi yang berkaitan dengan subyek, misalnya metodologi perbaikan terus-menerus menggunakan PDCA (Plan, Do, Check, Act) atau DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) pada Lean Six Sigma Supply Chain Management, agar memiliki pengetahuan prosedural berkaitan dengan solusi masalah dan pembuatan keputusan, perbaikan terus-menerus dan inovasi.

Juga termasuk dalam pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan pada saat mana prosedur-prosedur yang tepat itu diterapkan atau digunakan. Misal kriteria yang biasa digunakan oleh Vincent Gaspersz untuk menerapkan prosedur yang melibatkan analisis risiko dalam Lean Six Sigma Supply Chain Management adalah menggunakan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), di mana kelayakan baik secara teknik maupun ekonomi dapat dinilai berdasarkan penurunan RPN (Risk Priority Number) yang signifikan. Kriteria kelayakan lain dapat dipergunakan seperti peningkatan produktivitas (total output / total input), return on investment (ROI) = Net Benefit / Total Cost, atau indikator lain yang menunjukkan tingkat efektivitas tinggi dan tingkat efisiensi tinggi.

D.        Pengetahuan Metakognitif (Metacognitive Knowledge): Pengetahuan kognitif yang berkaitan dengan kesadaran diri dari pembelajar agar memiliki pengetahuan itu sebagai prasyarat untuk SUCCESS ketika melakukan solusi masalah dan pembuatan keputusan dalam dunia nyata.

Tiga jenis pengetahuan yang termasuk dalam kategori pengetahuan metakognitif ini, yaitu (1) Pengetahuan Strategik, (2) Pengetahuan Kontekstual dan Kondisional, dan (3) Pengetahuan Mandiri.

Pengetahuan Strategik merupakan pengetahuan yang harus dimiliki oleh pembelajar itu agar ia mampu menjelaskan struktur keterkaitan unit-unit manajemen lain seperti: Change and Innovation Management, World Class Management, dan lain-lain dengan Lean Six Sigma Supply Chain Management agar membentuk sistem manajemen komprehensif dan terintegrasi secara total. Pengetahuan Strategik ini sangat penting agar pembelajar memiliki kemampuan heuristik (heuristics) sehingga memungkinkan ia melakukan penyelidikan secara mandiri.

Termasuk juga ke dalam pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan kontekstual dan kondisional yang sesuai, misalnya: pengetahuan tentang kebutuhan untuk melakukan tugas-tugas yang dilakukan dalam melakukan pekerjaan Lean Six Sigma Supply Chain Management. Misalkan dalam hal ini kita mengikuti persyaratan kualifikasi ISO 18404 untuk Lean yang terdiri dari 18 jenis kompetensi dan persyaratan kualifikasi untuk Six Sigma yang terdiri dari 23 jenis kompetensi yang dapat dilihat dalam website berikut:
http://www.vincentgaspersz.com/2019/12/17/memahami-iso-184042015-tentang-lean-six-sigma-lean-and-six-sigma/

Jenis ketiga dari pengetahuan metakognitif adalah Pengetahuan Mandiri, di mana pembelajar harus memiliki kemampuan untuk mengenal diri sendiri, misalnya menggunakan analisis SWOT, maka pembelajar akan mengetahui kekuatan-kekuatan diri, kelemahan-kelemahan diri, kesempatan-kesempatan yang dapat diciptakan, maupun tantangan-tantangan yang akan dihadapi dalam pembelajaran seumur hidup agar mencapai tujuan hidupnya berkaitan dengan subyek pembelajaran, dalam kasus ini misalnya Lean Six Sigma Supply Chain Management.

Berdasarkan pembelajaran tingkat tinggi (HOTS) dari Lean Six Sigma Supply Chain Management, maka kita akan mampu mendesain link and match antara system Pendidikan di Indonesia sejak SD, SMP, SMU, S1, S2, dan S3 agar langsung memasuki pasar tenaga kerja seperti ditunjukkan dalam Bagan 5.

Bagan 5. Aplikasi Model LSS SCM dalam Education 4.0 di Indonesia

Dimensi Proses Kognitif (Cognitive Process Dimension) dalam Pembelajaran LSS SCM

Kita dapat menerapkan Taksonomi Bloom untuk pembelajaran HOTS tentang LSS SCM, melalui tahapan-tahapan dari terendah sampai tertinggi berikut.

  • MENGINGAT (REMEMBER), merupakan tingkat paling rendah dalam Taksonomi Bloom yaitu hanya mengingat atau mengenal istilah, definisi, fakta, ide, bahan, pola, urutan, metode, prinsip, dll. Model kuliah satu arah dari dosen kepada mahasiswa di Indonesia menerapkan tingkat terendah dari Taksonomi Bloom ini.
  • MEMAHAMI (UNDERSTAND), merupakan tingkat kedua dari Taksonomi Bloom, yaitu membaca dan memahami deskripsi, komunikasi, laporan, tabel, diagram, arah, peraturan, dll.
  • MENERAPKAN (APPLY), merupakan tingkat ketiga dari Taksonomi Bloom berkaitan dengan pengetahuan tentang kapan dan bagaimana menggunakan ide, prosedur, metode, formula, prinsip, teori, dll.
  • ANALISIS (ANALYZE), merupakan tingkat keempat dari Taksonomi Bloom, berkaitan dengan pemilahan sistem informasi menjadi bagian-bagian penyusun sistem informasi itu, kemudian menganalisis hubungan elemen-elemen sistem itu satu sama lain dan bagaimana elemen-elemen itu diorganisasikan; mengidentifikasi faktor sublevel atau data yang menonjol dari skenario perilaku sistem yang kompleks.
  • EVALUASI (EVALUATE), merupakan tingkat kelima dari Taksonomi Bloom yang direvisi pada tahun 2001, berkaitan dengan kemampuan melakukan penilaian tentang nilai ide yang diusulkan, solusi, dll., melalui membandingkan proposal dengan kriteria atau standar tertentu.
  • MENCIPTAKAN (CREATE), merupakan tingkat keenam atau tertinggi dari Taksonomi Bloom yang direvisi pada tahun 2001. Berkaitan dengan peletakan bagian-bagian atau elemen-elemen sistem secara bersama-sama sedemikian rupa untuk mengungkapkan pola perilaku sistem atau struktur sistem yang tidak jelas sebelumnya; mengidentifikasi data atau informasi mana dari sistem kompleks yang tepat untuk memeriksa lebih lanjut atau dari mana kesimpulan yang mendukung kinerja sistem kompleks itu dapat diambil secara berkualitas, produktif, efektif dan efisien.

Kita dapat juga menggunakan Model DIKIW (Data-Information-Knowledge-Intelligence, Wisdom) dalam proses pembelajaran Dimensi Proses Kognitif tentang LSS SCM itu.

Model DIKIW (Data-Information-Knowledge-Intelligence-Wisdom) ini dikembangkan pertama kali oleh Ackoff pada tahun 1988 dan terakhir pada tahun 2004 dimodifikasi lagi oleh Carpenter & Cannady dengan menambahkan Lingkungan (Environment) dan Visi (Vision).

Penjelasan tentang Model DIKIW (Data-Information-Knowledge-Intelligence-Wisdom), adalah sebagai berikut:

1.         Data (D) adalah simbol, kata-kata, angka-angka, fakta yang belum bermanfaat apa-apa. Kita TIDAK akan memperoleh atau mengetahui apa-apa dari data (Know-Nothing). Tetapi data harus dikumpulkan, jika kita ingin memahami tentang suatu fenomena.

2.         Agar bermanfaat, maka Data (D) HARUS diproses dan disusun secara teratur agar menjelaskan tentang apa, siapa, di mana, dan kapan fenomena itu terjadi (Know-What). Data (D) yang TELAH diproses ini disebut sebagai Information (I).

3.         Data (D) dan Information (I) akan membentuk Tacit Knowledge (T) yang merupakan kerangka kerja untuk menjelaskan perilaku suatu fenomena di dunia yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajari itu.

4.         Jika kita bisa menerapkan Tacit Knowledge (T), maka kita akan memperoleh Pengalaman/Experience (E) yang benar, efektif, dan efisien.

5.         Information (I), Tacit Knowledge (T), dan Experience (E) ini yang akan membentuk Knowledge (K) secara utuh yang komprehensif mampu menjelaskan bagaimana suatu fenomena berkaitan dengan perilaku sistem itu terjadi (Know-How)?

6.         Selanjutnya apabila Knowledge (K) secara lengkap itu diterapkan berulang-ulang sebagai kebiasaan (HABITS), misalnya dalam proses pembuatan keputusan berbasis iptek (Knowledge-Based Decision Making), maka kita akan memperoleh Intelligence (I) tentang Mengapa suatu fenomena itu terjadi (Know-Why)? Proses Pembelajaran HOTS yang sesungguhnya (Learning) terjadi pada point 5 dan 6 ini. Semua Langkah 1 sampai 6 di atas itu berfunggi untuk Pengendalian dan Efisiensi (Control and Efficiency).

7.         Jika kita TELAH memahami secara baik tentang Mengapa suatu fenomena yang berkaitan dengan perilaku sistem itu terjadi (Know-Why), kemudian kita memberikan pertimbangan, pemikiran jangka panjang yang bersifat strategik, dll, maka kita akan MAMPU menerapkan WISDOM (Hikmat/Kebijaksanaan) yang berfungsi untuk memperoleh hasil terbaik (Know-Best) dan hal ini berkaitan dengan peningkatan Nilai dan Efektivitas (Values and Effectiveness) dari sistem itu.

Perlu dipahami dan dijelaskan bahwa pengetahuan yang komprehensif (Knowledge = K) dalam model DIKIW, itu terdiri dari Explicit Knowledge (hanya sekitar 5%) vs. Tacit Knowledge (mencapai sekitar 95%), sehingga Tacit Knowledge (T) jauh lebih penting daripada Explicit Knowledge (E) dalam kehidupan dunia nyata,

.

Berdasarkan pembelajaran tingkat tinggi (HOTS) dari Lean Six Sigma Supply Chain Management yang diuraikan di atas, maka kebutuhan dunia bisnis  dan industry 4.0  yang dikemukakan dalam Bagan 6 berikut akan mampu mengintegrasikan system Pendidikan dengan semua organisasi sebagai Systems of Sytems (SoS) seperti ditunjukkan dalam Bagan 7.

Bagan 6. Keterkaitan Sistem Pendidikan dengan Sistem Industri 4.0

Bagan 7. Link and Match Sistem Pendidikan untuk Memenuhi Kebutuhan Organisasi

Berdasarkan persyaratan pembelajaran tingkat tinggi (HOTS) dari LSS SCM di atas, maka kita harus mendefinisikan ulang kriteria orang-orang Genius, Pintar, “Bodoh”, dan mereka yang tidak mau berkembang seperti ditunjukkan dalam Bagan 8.

Bagan 9. Kriteria Kecerdasan Manusia Menggunakan LSS SCM Skills

Demikian penjelasan tentang sistematika pembelajaran tingkat tinggi (HOTS) berkaitan dengan  Lean Six Sigma Supply Chain Management itu.

Salam SUCCESS

Posted in
css.php